Rabu, 13 Juni 2012

Dokter Untuk Ayahku


Namaku Rahmawati. Orang-orang biasa memanggilku Rahma. Aku lahir dan besar di bumi khatulistiwa. Terik panas matahari yang sangat menyengat telah menjadi biasa bagi kami yang tak kenal lelah bermain ataupun bekerja untuk membantu meringankan beban orang tua kami. Tinggal di pinggiran aliran Kapuas membuat lelah hari-hariku sedikit berkurang. Dulu selepas pulang sekolah, aku tak segan untuk menciplak-ciplukkan kakiku di sungai terpanjang di Indonesia itu. Bahkan tak jarang aku dan teman-teman terjun bebas disana. Nikmat bagi kami berpesta air di aliran yang cukup menghanyutkan tersebut.
Tahun ini umurku telah mencapai angka yang ke-22. Dia yang luar biasa telah membuatku bisa berada disini. Duduk bersama orang-orang ini yang pernah seperjuangan untuk menahan kantuk pada malam hari dan berpikir keras pada siang hari. Namun aku tau, itu tidaklah seberapa dengan pengorbanannya selama ini untukku. Dia yang pernah punya mimpi dan harapan untukku. Dia yang mengikhlaskan matahari tuk menyerap keremajan kulitnya. Dia yang dengan terus tersenyum mengucurkan titik-titik keringat dari tubuhnya.
Tak pernah sekalipun kudengar ia mengeluh. Pergi mendorong gerobak pada tempat-tempat pembuangan sampah dan kembali kerumah dengan keadaan telah terisi dengan kaleng-kaleng minuman. Terkadang terisi penuh. Tapi terkadang hanya beberapa saja. Jika ada orang membutuhkan pertolongan, ia biasa membantu dengan bayaran seadanya. Yah... Dia juga biasa membantu mengerjakan pekerjaan apapun. Mengangkut pasir, menyemen, mengangkut kayu, memecahkan batu, menukang rumah, mencari ikan, berjualan sayur, dan sebagainya. Apapun itu, asal ia bisa dan asalkan halal tetap ia kerjakan demi keluarganya. Dialah lelaki hebat yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Pahlawan luarbiasa yang berjuang untuk mimpi dan harapannya demi aku. Dia adalah ayahku.
Waktu itu ketika aku lepas dari bangku SMP. Pengumuman yang terpajang di mading sekolah mengabarkan bahwa aku lulus tes masuk SMA itu. Masih jelas teringat dibenakku percakapan yang ia bicarakan dengan kepala sekolah. Aku hanya dapat mendengarkannya dari balik pintu ruang sederhana itu. Tanpa dapat melakukan apa-apa selain berdoa.
“Saya mohon pak… izinkan anak saya bersekolah di sini. Tapi maaf kalau kami hanya bisa membayar dengan pendaftaran segini.” Mohonnya sambil menyodorkan uang sebesar satu juta rupiah. Diikat dengan karet getah seperti mengikat sayuran.
“Uang ini sudah saya tabung selama satu tahun pak… dan hanya baru bisa terkumpul sejumlah ini. Saya benar-benar menginginkan anak saya Rahma untuk bisa bersekolah.” Lanjutnya lagi menawar harga pendaftaran sekolahku.
Sungguh perih hatiku harus melihat ayah memohon sedemikian rupa agar aku dapat bersekolah di sekolah itu. Penglihatanku kini kabur sarat air mata yang terbendung. Lalu tak lama tumpah membanjiri pipiku.
Namun kutangkap secercah sinar teduh dari mata kepala sekolahku yang berpenampilan sederhana itu. Bersahaja. Lalu dengan senyum yang tampak tak dibuat-buat ia besarkan hati ayahku.
“Maaf pak… kalau boleh saya tau, apa pekerjaan bapak?” tanyanya lembut.
“Saya hanya pekerja serabutan pak. Jika tidak ada yang meminta tolong saya untuk membantu meringankan pekerjaannya, saya hanya mengumpulkan kaleng-kaleng bekas minuman untuk dijual.” Jawab ayahku begitu polos.
“Sungguh itu pekerjaan yang mulia pak… meringankan pekerjaan orang lain, mencari rezeky dengan cara yang halal adalah pekerjaan yang diridhoi Allah.” Ujar kepala sekolahku syahdu.
“Tapi hanya segitu uang yang kami punya pak.” Kata ayahku lagi.
“Tidak apa-apa pak. Nanti saya yang bilang kebagian administrasi. Bapak jangan khawatir… Rahma tetap akan bersekolah di sini.”
Semakin deras air mata itu mengalir dipipiku. Kulihat raut kebahagiaan merekah dari wajah lelah ayahku. Wajah lelah memikul tanggung jawab keempat anak beserta istrinya di rumah. Namun sungguh wajah itu tak pernah ia tampakkan didepan kami. Selalu tertutupi oleh Senyum dan semangatnya yang luar biasa. Senyuman hangat yang penuh mimpi serta harapan untuk anak-anaknya. Demi tetap melihat senyum itu bersemi di wajahnya, dibalik daun pintu ruangan ini, dalam hatiku berikrar, takkan pernah kubiarkan air mata kekecawaan menghampiri dirinya. Takkan pernah.
Demikianlah… mulai hari itu aku sangat mengagumi kepala sekolahku yang baru. Tentunya setelah ayahku yang nomor satu. Sungguh aku tak tau bagaimana caranya menutupi kekurangan dari pendaftaranku tempo lalu. Apakah di sekolah ini ada bantuan dana untuk anak kekurangan seperti aku, ataukah kekurangan itu ia tutupi dengan menguras koceknya sendiri.
Terinspirasi dari kepala sekolahku yang bersahaja dan sangat bijaksana, ingin rasaku untuk turut mengikuti jejaknya. Aku ingin menjadi guru. Seseorang yang mengabdi dibidang pendidikan. Memberikan yang terbaik dan turut mencerdaskan anak bangsa. Mendidik dengan sepenuh hati dan memberikan segala hak seluruh anak untuk dapat mengenyam pendidikan.
Namun aku tau ada yang salah dari cita-citaku. Ayahku tak menginginkan itu. Ada sebuah mimpi dan harapan besar dalam hidupnya. Dan ia harap mimpi itu dapat terwujud pada diriku. Ia sangat menginginkan aku untuk berada di dunia kesehatan. Aku akan menjadi dokter!
Suatu hari, aku ikut pergi bersama ayahku untuk turut membantu pekerjaannya. Ada sebuah keluarga sederhana yang kini menjadi tetangga baru kami. Mereka adalah pindahan dari pulau sebarang. Sebuah titah untuk pindah dinas kepulau terbesar di Indonesia ini membuat mereka terdampar disini, di Pontianak kota bersinar. Kami membantu tetangga baru tersebut berkemas mengangkut barang-barang yang harus ditata dan ayahku kebagian kerjaan tambahan untuk merenovasi sedikit bagian samping dari rumah itu. Namanya pak Ferdy. Keluarganya sangat ramah. Ayahku tampak senang mengerjakan tugasnya.
“Anak bapak sekolah di mana?” Tanya ayahku selidik.
“Di Jawa pak…” jawab pak ferdy.
“Ambil bagian apa ya pak?” Tanya ayahku begiu antusias.
“Bagian Fakultas pendidikan pak… nantinya akan menjadi guru.” Jawab pak ferdy lagi.
“Mahal pak ya?” kembali ayah bertanya, namun kini hingga menghentikan pekerjaannya. Senyumnya meringis. Aku tau yang dipikirkannya.
“kalau si Rahma nanti akan aku sekolahkan jadi dokter pak….” Lanjut ayahku dengan mata berbinar. Pandangannya menatap jauh entah kemana. Namun senyumnya tetap sumringah. Ada sebuah mimpi dan harapan disana. Harapan untuk anaknya. Bukan untuk dirinya.
“Nanti si Rahma jadi bisa bantu orang banyak… kalau ibunya sakit, jadi ada yang merawat!” lanjutnya kembali. Itulah harapannya. Harapan dari seorang ayah yang buta huruf. Yang merasa tak cukup berguna untuk orang lain, dan menginginkan anaknya dapat mengabulkan mimpinya itu. Agar dapat membantu orang lain.
“Nanti si Rahma akan menjadi dokter pak…!” begitulah, hingga berulangkali kata itu terucap dari bibirnya. Dan aku takkan pernah melupakan itu. Selalu terngiang-ngiang dibenakku. Aku akan menjadi dokter. Dokter untuk ayahku.
Begitulah ayahku sepanjang hari. Kemanapun kakinya melangkah. Tak pernah lewat cerita itu ia sampaikan kepada orang-orang. Dengan bangganya ia selalu bercerita. Seakan meminta doa pada yang mendengarnya.
“Nanti Si Rahma akan aku sekolahkan menjadi dokter…” demikianlah.
Untuk ayahku yang luar biasa, aku tak ingin mengecewakannya. Kuperas otakku semaksimal mungkin untuk terus belajar dan meraih yang terbaik. Kulahap buku-buku yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Alam. Mulai dari biologi, Kimia, Fisika, dan matematika tentunya. Dan ada lagi yang sering aku lakukan. Belakangan ini akupun sering mencari informasi dari internet. Khususnya mengenai beasiswa-beasiswa S1 kedokteran. Karna aku tak cukup yakin, ayahku dapat membiayakan aku untuk  kuliah di fakultas bergengsi itu. Dan aku pun tak yakin bahwa biaya perkuliahanku nanti akan dapat ditawar seperti waktu SMA dulu. Sungguh aku tak sanggup membayangkan wajah ayahku nanti jika ia tak dapat membiayai kuliahku dan terpaksa mengkandaskan mimpinya.
***

Hari itu hujan turun sangat deras. Air sungai kapuaspun bergolak diterpa angin yang meski tak tampak namun sangat terasa. Kulirik jam yang terpampang sepi di tembok kusam bilik rumahku. Pukul 17.25 WIB. Cuaca yang tak mendukung membuat hari lebih tampak larut berkali-kali lipat dari yang sebenarnya. Seharusnya ayah sudah pulang jam segini. Ia tidak pernah melewatkan shalat maghrib berjamaah bersama kami sekeluarga.
“Maghrib itu ialah waktu yang paling tepat untuk kita semua berkumpul. Jadi jangan pulang larut ya nak…”
Demikianlah kata-kata yang sering dilontarkan ayahku agar kami tak melewatkan masa-masa kebersamaan itu. Biasanya setelah sholat maghrib berjamaah, kami lanjutkan dengan makan malam bersama. Apapun hidangan yang disiapkan dari ibuku, walau sangat sederhana dan apa adanya, kami selalu puas menikmatinya. Kehangatan itu yang sangat istimewa. Sambil menikmati nikmatnya nasi putih bertemankan si ikan asin dan sambal belacan. Sungguh menggairahkan.
Tapi kali ini agak berbeda. Ayahku belum pulang hingga petang tlah datang. Walau tlah kucoba tetap berbaik sangka, ‘Mungkin hujan yang menghadangnya’, itu pikirku. Namun gelisah ini menghampiri hingga mendalam. Aku ketakutan dalam limpahan air bah yang meruah dari langit. Aku cemas. Menanti ia dan gerobaknya yang selalu setia bersamanya.
Grruuduk…. Gruduukk… Grudduukk….
Terdengar suara berat roda gerobak berjalan ringkih merayapi gertak kayu menuju pesisir sungai. Suaranya berpadu padan dengan deras hujan dan gemuruh langit. Suara itu sangat aku hapal sejak aku masih kecil. Ku dengar kembali langkahnya yang terseok-seok semakin mendekat kearah rumahku. Aku yakin itu ayahku. Dia datang. Hatiku senang tak kepalang. Segera kubuka pintu untuk menyambut kedatangannya sebelum ia mengetuknya. Tak lupa pula kubawakan sebuah handuk untuk mengeringkan tubuhnya yang pasti tlah kuyup diterpa hujan.
Kreeeek…………
Suara pintu tua rumahku menjerit. Ia telah mendekat. Kusambut ia dengan senyuman hangatku diantara seribu kekhawatiran.
“Ayaaah…………….” Panggilku.
Gerobak itu ia tinggalkan seketika. Berhambur ia berlari kearahku. Ditangannya kulihat sebuah kantong plastic hitam besar yang dipeluknya erat. Seakan itu sangat berat dan sangat berharga. Tak ada yang boleh merebutnya.
“Rahmaaa…………..” serunya memanggilku. Suaranya parau diantara deras hujan. Namun ia tak ingin kalah hanya gara-gara itu.
“Rahmaaaaa…………… “ serunya kembali dengan lebih keras dan antusias.
Kini langkahnya berhenti tepat didepanku. Nafasnya tersengal-sengal. Kuliat pucat raut wajahnya. Namun selalu tak hilang lengkungan hangat itu dari bibirnya. Senyuman manis dari jiwa tangguh ayahku. Tak pudar dari sejak dulu.
“Hhh… Hhh… Rahhhmaa… Hhh… Hhh….” Nafasnya beradu dengan asanya terus memanggil namaku. Lengkung indah dibibirnya pucat pasi tak tampak seprti biasa.
Aku hanya dapat menatapnya nanar. Tangannya bergetar hebat. Matanya memerah. Kulihat air menggenang disudut mata itu. Walau senyumnya tak pudar, namun kurasakan ada sedikit keganjilan dari yang kulihat saat ini.
“Hhh….Rah­_ma…. I_ni.......”
BRUKKK!!!
Seketika tubuh itu roboh dihadapanku. Setelah sebelumnya sempat ia sodorkan plastic hitam yang ia peluk sedari tadi.
“Ayaaah………!!! Ayaaah………!!! Bangun yah…..!!”
Sungguh aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Wajahnya Pucat. Tubuhnya panas bukan main. Aku panic. Dadaku sesak beradu tangis. Aku tak tau harus melakukan apa. Namun akhirnya cepat aku berfikr lalu bertindak.
“Tolooooong……………..!!!”
Ya, hanya tindakan itu yang dapat aku perbuat. Menangis sesengukan lalu berteriak meminta tolong pada yang mendengarkan. Tak lama kemudian kulihat ibu dan adik-adikku  berlari kearahku. Semua tak kalah paniknya. Apalagi ibuku. Tangisnya lalu menjadi-jadi hingga para tetangga berhamburan kerumah kami.
Segera para tetangga menenangkan kami. Cik Mimi membawa ibuku kedalam. Adik-adikku yang tampak begitu ketakutan kini bersama pak de Agus. Sedangkan aku tetap bertahan disini terpaku menatap ayahku dibopong para tetangga yang melewati gertak dengan hati-hati dan dibawa masuk kedalam oplet bang ujang untuk segera dilarikan kerumah sakit. Namun aku tak ingin hanya mematung. Segera aku sadarkan diri dan berhambur pergi kearah rombongan itu yang hendak berangkat.
“Ayaaaaah………..!! hiks… bang ujang, Rahma ikut ya…” ujarku.
Bang ujang hanya menatapku kaku. Aku tak perlu jawabannya. Langsung saja aku melompat naik kedalam oplet dan duduk disamping ayahku dibaringkan.
“Ayo bang!! Cepat Berangkat!!! Soedarso!!” bentakku memaksa bang ujang untuk segera menancapkan gasnya membawa oplet tua ini berlari terseok menuju Rumah Sakit terdekat. Beberapa kerabat juga ikut bersama kami. Wak akil pedagang ikan, paman seno pemasok sayuran, pak man ketua RT, pak Ferdy tetangga baru, dan bi’ siti yang sedari tadi sibuk menenangkanku.
Bang ujang telah teramat lihai memacu oplet tua kesayangannya ini. Walaupun telah tua, namun dia lah yang selalu menemani bang ujang dan membantunya mengais rezeky tiap hari. Opelet tua ini tetap berusaha melaju sekencang yang ia mampu. Fikiranku tak tentu rudu memikirkan nasib ayahku. Tempias hujan deras menerpa wajah-wajah kami dari celah jendela. Bobrok hentakan kasar dari oplet ini tak kuhiraukan sama sekali. Aku hanya ingin kami segera sampai pada tempat tujuan. Rumah Sakit Soedarso. Untungnya bang ujang telah hapal seluruh jalur dikota Pontianak ini. Hingga ia pun tau celah mana yang harus digunakan agar sang oplet dapat berlari laju tanpa halangan yang berarti.
Sesampai dirumah sakit, ayahku langsung dibopong kedalam. Bingung kami hendak membawanya kebagian yang mana. Hingga seorang suster datang menghampiri kami.
“Ada yang bisa saya bantu pak???” serunya
“Tolong ayah saya suster….. badannya panas dan wajahnya pucat. Badannya menggigil hebat!!” jawabku panik.
“oogh…. Silahkan selesaikan administarinya mbak.”
HAH? Apa-apaan suster ini! Apa dia tidak lihat ada yang lebih penting yang seharusnya ia lakukan?!! Jika saja orang yang sakit sudah benar-benar parah dan akhirnya tak ketolongan karena menungggu administrasi, apa dia mau bertanggung jawab?! Bisa-bisanya ia sesantai itu dan malah lebih mementingkan administrasi!
“Suster Ini………………!!!”
“Biar saya yang urus nak rahma.” Ujar pak Ferdy memotong amarahku.
“suster, tolong atasi pasien ini dan panggilkan dokter yang bersangkutan”. Seru pak Ferdy agak sedikit tenang.
“nanti administrasinya biar saya yang atasi” sambungnya lagi.
“CEPAT Suster……….!!!” Seruku emosi.
“sabar ye ma……” ujar bi siti yang sedari tadi menyuruhku sabar tiada henti.
Tak lama kulihat tiga orang perawat laki-laki berlari membawa bangsal dorong kearah kami. Ayahku kini dipindahkan kebangsal tersebut lalu dibawa berlari menuju lorong-lorong panjang pada tubuh rumah sakit ini.
“Rahma tunggu disini saja dulu ya dengan bi siti. Ayahmu akan baik-baik saja kok…” ujar pak Ferdy menenangkanku jua.
Aku teduduk lesu melongsor dilantai. Untung ada bi Siti bersamaku. Ia memapah aku menuju bangku-bangku tempat menunggu disebelah kiri kasir dan bagian administrasi. Tak kusadari ternyata sedari tadi tanganku tetap memeluk plastic hitam pemberian ayahku sebelum ia tumbang. Entah apa isinya.
Perlahan kuhapus air mataku. Aku teringat bungkusan hitam yang dipeluk erat oleh ayahku beberapa waktu yang lalu. Cukup penasaran aku dibuatnya. Ia bahkan memeluk bungkusan itu seakan itu harta terakhir yang ia miliki, seakan menyangkut hidup dan matinya.
Ku buka bungkusan itu dengan hati-hati. Cukup kuat ia menyimpulnya. Kulihat isi didalamnya. Apa ini? Ku keluarkan dengan perlahan. Bungkusan plastic hitam lagi? Yang benar saja? Ternyata ayahku benar-benar menjaga barang ini. Akupun semakin penasaran. Kubuka kembali bungkusan kedua dari yang pertama tadi. Masya Allah…. Ternyata tahapan ini belum selesai. Masih ada bungkus ketiga dari yang kedua. Ough… tidak!! Setelah ini ada lagi! Yang keempat… lalu yang kelima…. Dan… eh, eh, apa ini???
Sebuah gulungan kertas berwarna cokelat dan lagi-lagi diikat oleh lingkaran karet seperti mengikat sayuran. Perlahan kulepaskan ikatan itu. Ternyata sebuah amplop coklat ukuran besar. Sungguh aku masih belum mengerti. Apa pentingnya isi dari amplop ini bagi pria buta huruf seperti ayahku? Mungkin uang tabungannya selama ini?! Akh…. Aku tak ingin menerka dalam kebingungan sedangkan barang itu kini telah ditanganku.
Aku intip isi dari amplop cokelat itu. Aku keluarkan isinya tanpa ingin merusak tampilannya. Hufh… ternyata hanya berkas-berkas yang sepertinya tak penting. Tapi tunggu! Apa ini?? Ini kan…….
“PROGRAM BEASISWA IKATAN DINAS S1 FAKULTAS KEDOKTERAN”
“Subhanallah…………..” kata itu terucap dari bibirku bersamaan dengan cucuran air mata yang semakin tak terbendung. Dari mana ayah mendapatkan ini? Informasi lengkap dengan berbagai persyaratan beserta formulir pendaftaran untuk mengikuti test program beasiswa kedokteran tersebut. Sungguh kesempatan langka. Ayahku benar-benar menginginkanku menjadi dokter.
“Aku akan menjadi Dokter ayah……. Dokter untukmu…..”. Demikianlah tekadku.
****

Thypus abdominalis. Penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Penyakit ini biasanya dikenal dengan penyakit Tipes. Ayahku terbaring lemah dipembaringan. Teriris aku melihatnya. Namun bukan ayahku jika ia mengeluh dan pasrah. Dalam lemah ia masih tetap berusaha menyinari yang lain. Walau redup matanya kutangkap sendu. Namun bibirnya tak lepas dari senyuman syahdu. Tapi aku tau dalam tubuhnya sekarang ia sedang berperang, melawan rasa sakit yang tak karuan.
Cuaca tak kunjung pulih. Butiran-butiran bening yang sedari tadi tercurah dari atap langit masih terus  bertumpah ruah menciptakan basah pada kaki bumi. Mengangkat suhu panas dan kini menggantikannya dengan hawa dingin yang menusuk kulit hingga mendirikan rambut-rambut halus pada pori-pori.
Hujan. Mambawa ingatanku pada masa itu. Pada masa kecilku yang agak aneh. Namun ayah tak pernah menganggap itu aneh. Malah ia bilang aku unik. Dan mulailah ia menghiburku. Dulu, saat aku masih begitu kecil, aku sangat membenci hujan. Aku benci suara jatuhnya ia berebutan menyentuh bumi. Aku benci pengaruhnya yang membawa suhu dingin menggigit kulit dan gusi. Aku benci kilatan-kilatan yang menyambar kian kemari dari atas langit. Aku benci genderang gemuruhnya yang menambah suram suasana. Aku bahkan tidak suka walau ia datang pada saat siang yang terang. Menurutku itu malah mengacaukan suasana. Merebut hak matahari tuk menghangatkan  bumi.
Namun ayah lalu mendekapku dan meletakkan aku pada pangkuannya. Dengan kasih sayang ia menularkan suhu hangat pada tubuhku. Sembari menikmati aliran kapuas di pemandangan depan, kemudian iapun mulai bercerita untukku.
“Rahma sayang… kenapa harus takut dengan hujan? Hujan itu adalah anugrah dari Allah.”
Aku tetap merengut. Tapi aku suka hangat pelukannya.
“Rahma tau nggak? Bersamaan dengan setiap titik air hujan itu, turun juga satu malaikat  baik pembawa rezeky. Bayangkan saja berapa ribu titik hujan yang jatuh kebumi, sebanyak itu pula malaikat yang ikut turun menyertainya.”
Aku mendongkakkan kepalaku. Kulirik ayahku yang sedang memandang hujan diluar dengan senyuman khasnya. Aku hanya ingin memastikan bahwa ia tak sedang mengada-ngada kepadaku.
“Malaikat baik?” tanyaku
“Iya… malaikat baik yang membantu menyuburkan pepohonan ditaman-taman, memberikan kesegaran pada setiap makhluk dimuka bumi, dan membantu menyampaikan permohonan kita kepada Allah untuk segera dikabulkan.”
Aku masih terdiam. Bingung sebenarnya. Namun kunikmati cerita itu ditengah hangatnya harum tubuh ayahku.
“Coba kalau nggak ada hujan, ibu dan rahma nyuci baju pakai apa? Trus kita mandinya gimana? Lalu minumnya dengan air yang mana? Air kan sumbernya dari hujan…. Termasuk air sungai Kapuas tempat rahma dan kawan-kawan berenang disitu.” Jelas ayahku.
“o iya, rahma pernah nggak liat bias indah saat hujan reda pada siang hari?”
“Pelangi ya yah?” tanyaku. Sungguh aku kagum pada tujuh warna misterius itu. Indah… Sangat indah! Hanya itu satu-satunya yang aku kagumi dari hujan.
“Tu…. Rahma tau…. Allah dan malaikatnya baik ya?! Setelah membagikan banyak rezeky kemuka bumi, mengabulkan doa-doa kita, lalu ia hadiahkan kepada kita Pelangi yang cantik.”
Ayahku bercerita dengan mata yang berkaca-kaca. Lengkung senyumannya indah bersemi. Seperti lengkung pelangi. Ya… ternyata pelangi itu indah. Namun tak kalah indah  senyuman ayahku. Aku jatuh cinta. Pada pelangi dan senyuman ayah. Tapi dari mana ayahku tau cerita ini? Membaca? Akh… Dia kan tak mengenal huruf. Dapat dongeng dari manakah ia? Ya sudahlah… tak ingin aku tanyakan hal tak penting ini pada ayahku. Dan beberapa tahun setelah itu, akupun sadar bahwa guru kehidupan telah mengajarkan banyak hal pada dirinya.
Sejak saat itu aku tak lagi membenci hujan. Ternyata hujan itu asyik! Sering sepulang sekolah aku dan teman-teman bermain bersamanya dengan sejuta keceriaan. Melepas sepatu-sepatu butut kami dan berlari kian kemari saling mencipratkan air-air yang tergenang pada kawan yang lain. Kami riang bukan main.
Saat ini ingin rasaku bertemu dengan malaikat-malaikat baik itu, meminta kepada mereka untuk membawakan doa-doaku pada Allah untuk segera disampaikan dan dikabulkan. Kini ragaku telah berpindah kesebuah Masjid disamping rumah sakit besar ini. Setelah membersihkan diri dengan berwudhu, kuhadapkan diriku pada Dzat yang Maha segalanya. Yang lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yang maha mendengarkan segala keluh kesah hambanya, yang memberikan segala yang bahkan tak kau pinta.
“Ya Allah…. Berikanlah kesembuhan pada Ayahku… jangan kau hapus pelangi indah pada senyumnya itu. Ampuni dosa-dosanya ya Allah… peluklah mimpi dan harapannya. Ku tak ingin angin kesedihan menerpa hari-harinya. Izinkan aku untuk dapat membahagiakan dan membanggakan dirinya. Malaikat yang baik… tolong bantu aku untuk menyampaikan do’aku ini pada Allah yang Maha Pemurah. Tolong bujuk Ia untuk diriku demi ayahku. Komohon dengarkan permintaan ini ya Allah... berikanlah yang terbaik… Amiiin….”
Ku usapkan wajahku atas tengadahku. Aku menarik nafas panjang. Kusapu air mata ini dan tak ingin meledak lagi. Kukeluarkan berkas informasi Beasiswa kedokteran yang ayahku bawa dengan protective. Ku baca persyaratannya satu persatu. Kubaca kembali dengan teliti. Ku pandangi formulir pendaftaran ditangan kananku. Terbayang olehku wajah teduh ayah. Saat ia menceritakan tentang hujan, Saat pulang dengan tersenyum sambil mendorong gerobak, Saat  menawar biaya pendaftaran SMA ku, saat ia bercerita kesana-kemari tentang harapannya untukku, saat senyum pelangi dari bibirnya merekah indah, dan saat ia melangkah gontai diantara hujan malam ini.
Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirahim, aku mantabkan niat tuk mengikuti test seleksi program beasiswa ikatan dinas S1 kedokteran yang telah ayahku idam-idamkan untukku. Aku tuliskan seluruh identitasku sesuai permintaan yang dicantumkan. Malam itu juga. Dan detik itu juga…
*****

            Beberapa Tahun Kemudian…
          “Kategori Lulusan terbaik. Nama Rahmawati. Tempat tanggal Lahir, Pontianak 4 April 1989. Putri dari bapak Sutoyo dan ibu Ramlah. Dengan IPK 3,86.”
           Gemuruh tepuk tangan pecah memenuhi ruangan. Tersentak aku dari lamunanku. Satu senyuman yang langsung aku ingat, Lengkung pelangi manis milik ayahku. Aku berdiri lalu menoleh kebelakang. Pria kurus mungil itu berdiri sendiri diantara hadirin yang lain. Tepukan tangan miliknya tampak bersemangat menggoncangkan tubuh kurusnya. Ia begitu tampan dan gagah sekali dengan jas yang ia kenakan walau tampak kebesaran melekat dibadannya. Rambutnya disisir rapi dibelah tengah. Klimis!  Dan senyumannya lah yang paling bersinar. Lengkung pelangi terindah milik ayahku. Penyemangat langkahku. Tak perduli dua gigi atas yang ia miliki telah gugur pada masanya. Namun itu tak pernah menjadi masalah bagi dirinya. Ia takkan pernah lelah untuk tersenyum sepanjang hidupnya. Persembahan terbaik dari dirinya.
            Mantab kulangkahkan kaki dengan pasti. Bergeser sudah tali togaku dari kiri kekanan. Dan ini lah aku sekarang, Dr. Rahmawati, S.Ked. Aku persembahkan untuknya yang luar biasa. Ayahku yang ku tercinta.

>>Kurnia Jumiati<<

***
Kisah terinspirasi dari kehidupan nyata. Semoga menjadi do'a. Amien.....

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar