Namaku
Rahmawati. Orang-orang biasa memanggilku Rahma. Aku lahir dan besar di bumi
khatulistiwa. Terik panas matahari yang sangat menyengat telah menjadi biasa
bagi kami yang tak kenal lelah bermain ataupun bekerja untuk membantu
meringankan beban orang tua kami. Tinggal di pinggiran aliran Kapuas membuat
lelah hari-hariku sedikit berkurang. Dulu selepas pulang sekolah, aku tak segan
untuk menciplak-ciplukkan kakiku di sungai terpanjang di Indonesia itu. Bahkan
tak jarang aku dan teman-teman terjun bebas disana. Nikmat bagi kami berpesta
air di aliran yang cukup menghanyutkan tersebut.
Tahun ini umurku
telah mencapai angka yang ke-22. Dia yang luar biasa telah membuatku bisa
berada disini. Duduk bersama orang-orang ini yang pernah seperjuangan untuk
menahan kantuk pada malam hari dan berpikir keras pada siang hari. Namun aku
tau, itu tidaklah seberapa dengan pengorbanannya selama ini untukku. Dia yang
pernah punya mimpi dan harapan untukku. Dia yang mengikhlaskan matahari tuk
menyerap keremajan kulitnya. Dia yang dengan terus tersenyum mengucurkan
titik-titik keringat dari tubuhnya.
Tak pernah
sekalipun kudengar ia mengeluh. Pergi mendorong gerobak pada tempat-tempat
pembuangan sampah dan kembali kerumah dengan keadaan telah terisi dengan
kaleng-kaleng minuman. Terkadang terisi penuh. Tapi terkadang hanya beberapa
saja. Jika ada orang membutuhkan pertolongan, ia biasa membantu dengan bayaran
seadanya. Yah... Dia juga biasa membantu mengerjakan pekerjaan apapun.
Mengangkut pasir, menyemen, mengangkut kayu, memecahkan batu, menukang rumah, mencari
ikan, berjualan sayur, dan sebagainya. Apapun itu, asal ia bisa dan asalkan
halal tetap ia kerjakan demi keluarganya. Dialah lelaki hebat yang pernah
kutemui sepanjang hidupku. Pahlawan luarbiasa yang berjuang untuk mimpi dan
harapannya demi aku. Dia adalah ayahku.
Waktu itu ketika
aku lepas dari bangku SMP. Pengumuman yang terpajang di mading sekolah
mengabarkan bahwa aku lulus tes masuk SMA itu. Masih jelas teringat dibenakku
percakapan yang ia bicarakan dengan kepala sekolah. Aku hanya dapat
mendengarkannya dari balik pintu ruang sederhana itu. Tanpa dapat melakukan
apa-apa selain berdoa.
“Saya mohon pak…
izinkan anak saya bersekolah di sini. Tapi maaf kalau kami hanya bisa membayar
dengan pendaftaran segini.” Mohonnya sambil menyodorkan uang sebesar satu juta
rupiah. Diikat dengan karet getah seperti mengikat sayuran.
“Uang ini sudah
saya tabung selama satu tahun pak… dan hanya baru bisa terkumpul sejumlah ini.
Saya benar-benar menginginkan anak saya Rahma untuk bisa bersekolah.” Lanjutnya
lagi menawar harga pendaftaran sekolahku.
Sungguh perih
hatiku harus melihat ayah memohon sedemikian rupa agar aku dapat bersekolah di sekolah
itu. Penglihatanku kini kabur sarat air mata yang terbendung. Lalu tak lama
tumpah membanjiri pipiku.
Namun kutangkap
secercah sinar teduh dari mata kepala sekolahku yang berpenampilan sederhana
itu. Bersahaja. Lalu dengan senyum yang tampak tak dibuat-buat ia besarkan hati
ayahku.
“Maaf pak… kalau
boleh saya tau, apa pekerjaan bapak?” tanyanya lembut.
“Saya hanya
pekerja serabutan pak. Jika tidak ada yang meminta tolong saya untuk membantu
meringankan pekerjaannya, saya hanya mengumpulkan kaleng-kaleng bekas minuman
untuk dijual.” Jawab ayahku begitu polos.
“Sungguh itu
pekerjaan yang mulia pak… meringankan pekerjaan orang lain, mencari rezeky dengan
cara yang halal adalah pekerjaan yang diridhoi Allah.” Ujar kepala sekolahku
syahdu.
“Tapi hanya
segitu uang yang kami punya pak.” Kata ayahku lagi.
“Tidak apa-apa
pak. Nanti saya yang bilang kebagian administrasi. Bapak jangan khawatir… Rahma
tetap akan bersekolah di sini.”
Semakin deras
air mata itu mengalir dipipiku. Kulihat raut kebahagiaan merekah dari wajah
lelah ayahku. Wajah lelah memikul tanggung jawab keempat anak beserta istrinya
di rumah. Namun sungguh wajah itu tak pernah ia tampakkan didepan kami. Selalu
tertutupi oleh Senyum dan semangatnya yang luar biasa. Senyuman hangat yang
penuh mimpi serta harapan untuk anak-anaknya. Demi tetap melihat senyum itu
bersemi di wajahnya, dibalik daun pintu ruangan ini, dalam hatiku berikrar,
takkan pernah kubiarkan air mata kekecawaan menghampiri dirinya. Takkan pernah.
Demikianlah…
mulai hari itu aku sangat mengagumi kepala sekolahku yang baru. Tentunya
setelah ayahku yang nomor satu. Sungguh aku tak tau bagaimana caranya menutupi
kekurangan dari pendaftaranku tempo lalu. Apakah di sekolah ini ada bantuan
dana untuk anak kekurangan seperti aku, ataukah kekurangan itu ia tutupi dengan
menguras koceknya sendiri.
Terinspirasi
dari kepala sekolahku yang bersahaja dan sangat bijaksana, ingin rasaku untuk
turut mengikuti jejaknya. Aku ingin menjadi guru. Seseorang yang mengabdi
dibidang pendidikan. Memberikan yang terbaik dan turut mencerdaskan anak
bangsa. Mendidik dengan sepenuh hati dan memberikan segala hak seluruh anak
untuk dapat mengenyam pendidikan.
Namun aku tau
ada yang salah dari cita-citaku. Ayahku tak menginginkan itu. Ada sebuah mimpi
dan harapan besar dalam hidupnya. Dan ia harap mimpi itu dapat terwujud pada
diriku. Ia sangat menginginkan aku untuk berada di dunia kesehatan. Aku akan
menjadi dokter!
Suatu hari, aku
ikut pergi bersama ayahku untuk turut membantu pekerjaannya. Ada sebuah
keluarga sederhana yang kini menjadi tetangga baru kami. Mereka adalah pindahan
dari pulau sebarang. Sebuah titah untuk pindah dinas kepulau terbesar di
Indonesia ini membuat mereka terdampar disini, di Pontianak kota bersinar. Kami
membantu tetangga baru tersebut berkemas mengangkut barang-barang yang harus
ditata dan ayahku kebagian kerjaan tambahan untuk merenovasi sedikit bagian
samping dari rumah itu. Namanya pak Ferdy. Keluarganya sangat ramah. Ayahku
tampak senang mengerjakan tugasnya.
“Anak bapak
sekolah di mana?” Tanya ayahku selidik.
“Di Jawa pak…”
jawab pak ferdy.
“Ambil bagian
apa ya pak?” Tanya ayahku begiu antusias.
“Bagian Fakultas
pendidikan pak… nantinya akan menjadi guru.” Jawab pak ferdy lagi.
“Mahal pak ya?”
kembali ayah bertanya, namun kini hingga menghentikan pekerjaannya. Senyumnya
meringis. Aku tau yang dipikirkannya.
“kalau si Rahma
nanti akan aku sekolahkan jadi dokter pak….” Lanjut ayahku dengan mata
berbinar. Pandangannya menatap jauh entah kemana. Namun senyumnya tetap
sumringah. Ada sebuah mimpi dan harapan disana. Harapan untuk anaknya. Bukan
untuk dirinya.
“Nanti si Rahma
jadi bisa bantu orang banyak… kalau ibunya sakit, jadi ada yang merawat!”
lanjutnya kembali. Itulah harapannya. Harapan dari seorang ayah yang buta
huruf. Yang merasa tak cukup berguna untuk orang lain, dan menginginkan anaknya
dapat mengabulkan mimpinya itu. Agar dapat membantu orang lain.
“Nanti si Rahma
akan menjadi dokter pak…!” begitulah, hingga berulangkali kata itu terucap dari
bibirnya. Dan aku takkan pernah melupakan itu. Selalu terngiang-ngiang dibenakku.
Aku akan menjadi dokter. Dokter untuk ayahku.
Begitulah ayahku
sepanjang hari. Kemanapun kakinya melangkah. Tak pernah lewat cerita itu ia
sampaikan kepada orang-orang. Dengan bangganya ia selalu bercerita. Seakan
meminta doa pada yang mendengarnya.
“Nanti Si Rahma
akan aku sekolahkan menjadi dokter…” demikianlah.
Untuk ayahku
yang luar biasa, aku tak ingin mengecewakannya. Kuperas otakku semaksimal
mungkin untuk terus belajar dan meraih yang terbaik. Kulahap buku-buku yang
berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan Alam. Mulai dari biologi, Kimia, Fisika, dan
matematika tentunya. Dan ada lagi yang sering aku lakukan. Belakangan ini
akupun sering mencari informasi dari internet. Khususnya mengenai
beasiswa-beasiswa S1 kedokteran. Karna aku tak cukup yakin, ayahku dapat
membiayakan aku untuk kuliah di fakultas
bergengsi itu. Dan aku pun tak yakin bahwa biaya perkuliahanku nanti akan dapat
ditawar seperti waktu SMA dulu. Sungguh aku tak sanggup membayangkan wajah
ayahku nanti jika ia tak dapat membiayai kuliahku dan terpaksa mengkandaskan
mimpinya.
***
Hari itu hujan
turun sangat deras. Air sungai kapuaspun bergolak diterpa angin yang meski tak
tampak namun sangat terasa. Kulirik jam yang terpampang sepi di tembok kusam
bilik rumahku. Pukul 17.25 WIB. Cuaca yang tak mendukung membuat hari lebih
tampak larut berkali-kali lipat dari yang sebenarnya. Seharusnya ayah sudah
pulang jam segini. Ia tidak pernah melewatkan shalat maghrib berjamaah bersama
kami sekeluarga.
“Maghrib itu
ialah waktu yang paling tepat untuk kita semua berkumpul. Jadi jangan pulang
larut ya nak…”
Demikianlah
kata-kata yang sering dilontarkan ayahku agar kami tak melewatkan masa-masa
kebersamaan itu. Biasanya setelah sholat maghrib berjamaah, kami lanjutkan
dengan makan malam bersama. Apapun hidangan yang disiapkan dari ibuku, walau
sangat sederhana dan apa adanya, kami selalu puas menikmatinya. Kehangatan itu
yang sangat istimewa. Sambil menikmati nikmatnya nasi putih bertemankan si ikan
asin dan sambal belacan. Sungguh menggairahkan.
Tapi kali ini
agak berbeda. Ayahku belum pulang hingga petang tlah datang. Walau tlah kucoba
tetap berbaik sangka, ‘Mungkin hujan yang menghadangnya’, itu pikirku. Namun
gelisah ini menghampiri hingga mendalam. Aku ketakutan dalam limpahan air bah
yang meruah dari langit. Aku cemas. Menanti ia dan gerobaknya yang selalu setia
bersamanya.
Grruuduk….
Gruduukk… Grudduukk….
Terdengar suara
berat roda gerobak berjalan ringkih merayapi gertak kayu menuju pesisir sungai.
Suaranya berpadu padan dengan deras hujan dan gemuruh langit. Suara itu sangat
aku hapal sejak aku masih kecil. Ku dengar kembali langkahnya yang terseok-seok
semakin mendekat kearah rumahku. Aku yakin itu ayahku. Dia datang. Hatiku
senang tak kepalang. Segera kubuka pintu untuk menyambut kedatangannya sebelum
ia mengetuknya. Tak lupa pula kubawakan sebuah handuk untuk mengeringkan
tubuhnya yang pasti tlah kuyup diterpa hujan.
Kreeeek…………
Suara pintu tua
rumahku menjerit. Ia telah mendekat. Kusambut ia dengan senyuman hangatku
diantara seribu kekhawatiran.
“Ayaaah…………….”
Panggilku.
Gerobak itu ia
tinggalkan seketika. Berhambur ia berlari kearahku. Ditangannya kulihat sebuah
kantong plastic hitam besar yang dipeluknya erat. Seakan itu sangat berat dan
sangat berharga. Tak ada yang boleh merebutnya.
“Rahmaaa…………..”
serunya memanggilku. Suaranya parau diantara deras hujan. Namun ia tak ingin
kalah hanya gara-gara itu.
“Rahmaaaaa……………
“ serunya kembali dengan lebih keras dan antusias.
Kini langkahnya
berhenti tepat didepanku. Nafasnya tersengal-sengal. Kuliat pucat raut
wajahnya. Namun selalu tak hilang lengkungan hangat itu dari bibirnya. Senyuman
manis dari jiwa tangguh ayahku. Tak pudar dari sejak dulu.
“Hhh… Hhh…
Rahhhmaa… Hhh… Hhh….” Nafasnya beradu dengan asanya terus memanggil namaku.
Lengkung indah dibibirnya pucat pasi tak tampak seprti biasa.
Aku hanya dapat
menatapnya nanar. Tangannya bergetar hebat. Matanya memerah. Kulihat air
menggenang disudut mata itu. Walau senyumnya tak pudar, namun kurasakan ada
sedikit keganjilan dari yang kulihat saat ini.
“Hhh….Rah_ma…. I_ni.......”
BRUKKK!!!
Seketika tubuh
itu roboh dihadapanku. Setelah sebelumnya sempat ia sodorkan plastic hitam yang
ia peluk sedari tadi.
“Ayaaah………!!!
Ayaaah………!!! Bangun yah…..!!”
Sungguh aku tak
tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Wajahnya Pucat. Tubuhnya panas bukan
main. Aku panic. Dadaku sesak beradu tangis. Aku tak tau harus melakukan apa.
Namun akhirnya cepat aku berfikr lalu bertindak.
“Tolooooong……………..!!!”
Ya, hanya
tindakan itu yang dapat aku perbuat. Menangis sesengukan lalu berteriak meminta
tolong pada yang mendengarkan. Tak lama kemudian kulihat ibu dan adik-adikku berlari kearahku. Semua tak kalah paniknya.
Apalagi ibuku. Tangisnya lalu menjadi-jadi hingga para tetangga berhamburan
kerumah kami.
Segera para
tetangga menenangkan kami. Cik Mimi membawa ibuku kedalam. Adik-adikku yang tampak
begitu ketakutan kini bersama pak de Agus. Sedangkan aku tetap bertahan disini
terpaku menatap ayahku dibopong para tetangga yang melewati gertak dengan
hati-hati dan dibawa masuk kedalam oplet bang ujang untuk segera dilarikan
kerumah sakit. Namun aku tak ingin hanya mematung. Segera aku sadarkan diri dan
berhambur pergi kearah rombongan itu yang hendak berangkat.
“Ayaaaaah………..!!
hiks… bang ujang, Rahma ikut ya…” ujarku.
Bang ujang hanya
menatapku kaku. Aku tak perlu jawabannya. Langsung saja aku melompat naik
kedalam oplet dan duduk disamping ayahku dibaringkan.
“Ayo bang!!
Cepat Berangkat!!! Soedarso!!” bentakku memaksa bang ujang untuk segera
menancapkan gasnya membawa oplet tua ini berlari terseok menuju Rumah Sakit
terdekat. Beberapa kerabat juga ikut bersama kami. Wak akil pedagang ikan,
paman seno pemasok sayuran, pak man ketua RT, pak Ferdy tetangga baru, dan bi’
siti yang sedari tadi sibuk menenangkanku.
Bang ujang telah
teramat lihai memacu oplet tua kesayangannya ini. Walaupun telah tua, namun dia
lah yang selalu menemani bang ujang dan membantunya mengais rezeky tiap hari.
Opelet tua ini tetap berusaha melaju sekencang yang ia mampu. Fikiranku tak
tentu rudu memikirkan nasib ayahku. Tempias hujan deras menerpa wajah-wajah
kami dari celah jendela. Bobrok hentakan kasar dari oplet ini tak kuhiraukan
sama sekali. Aku hanya ingin kami segera sampai pada tempat tujuan. Rumah Sakit
Soedarso. Untungnya bang ujang telah hapal seluruh jalur dikota Pontianak ini.
Hingga ia pun tau celah mana yang harus digunakan agar sang oplet dapat berlari
laju tanpa halangan yang berarti.
Sesampai dirumah
sakit, ayahku langsung dibopong kedalam. Bingung kami hendak membawanya
kebagian yang mana. Hingga seorang suster datang menghampiri kami.
“Ada yang bisa
saya bantu pak???” serunya
“Tolong ayah
saya suster….. badannya panas dan wajahnya pucat. Badannya menggigil hebat!!”
jawabku panik.
“oogh…. Silahkan
selesaikan administarinya mbak.”
HAH? Apa-apaan
suster ini! Apa dia tidak lihat ada yang lebih penting yang seharusnya ia
lakukan?!! Jika saja orang yang sakit sudah benar-benar parah dan akhirnya tak
ketolongan karena menungggu administrasi, apa dia mau bertanggung jawab?!
Bisa-bisanya ia sesantai itu dan malah lebih mementingkan administrasi!
“Suster
Ini………………!!!”
“Biar saya yang
urus nak rahma.” Ujar pak Ferdy memotong amarahku.
“suster, tolong
atasi pasien ini dan panggilkan dokter yang bersangkutan”. Seru pak Ferdy agak sedikit
tenang.
“nanti
administrasinya biar saya yang atasi” sambungnya lagi.
“CEPAT
Suster……….!!!” Seruku emosi.
“sabar ye ma……”
ujar bi siti yang sedari tadi menyuruhku sabar tiada henti.
Tak lama kulihat
tiga orang perawat laki-laki berlari membawa bangsal dorong kearah kami. Ayahku
kini dipindahkan kebangsal tersebut lalu dibawa berlari menuju lorong-lorong
panjang pada tubuh rumah sakit ini.
“Rahma tunggu
disini saja dulu ya dengan bi siti. Ayahmu akan baik-baik saja kok…” ujar pak Ferdy
menenangkanku jua.
Aku teduduk lesu
melongsor dilantai. Untung ada bi Siti bersamaku. Ia memapah aku menuju bangku-bangku
tempat menunggu disebelah kiri kasir dan bagian administrasi. Tak kusadari
ternyata sedari tadi tanganku tetap memeluk plastic hitam pemberian ayahku
sebelum ia tumbang. Entah apa isinya.
Perlahan kuhapus
air mataku. Aku teringat bungkusan hitam yang dipeluk erat oleh ayahku beberapa
waktu yang lalu. Cukup penasaran aku dibuatnya. Ia bahkan memeluk bungkusan itu
seakan itu harta terakhir yang ia miliki, seakan menyangkut hidup dan matinya.
Ku buka
bungkusan itu dengan hati-hati. Cukup kuat ia menyimpulnya. Kulihat isi
didalamnya. Apa ini? Ku keluarkan dengan perlahan. Bungkusan plastic hitam
lagi? Yang benar saja? Ternyata ayahku benar-benar menjaga barang ini. Akupun
semakin penasaran. Kubuka kembali bungkusan kedua dari yang pertama tadi. Masya
Allah…. Ternyata tahapan ini belum selesai. Masih ada bungkus ketiga dari yang
kedua. Ough… tidak!! Setelah ini ada lagi! Yang keempat… lalu yang kelima….
Dan… eh, eh, apa ini???
Sebuah gulungan
kertas berwarna cokelat dan lagi-lagi diikat oleh lingkaran karet seperti
mengikat sayuran. Perlahan kulepaskan ikatan itu. Ternyata sebuah amplop coklat
ukuran besar. Sungguh aku masih belum mengerti. Apa pentingnya isi dari amplop
ini bagi pria buta huruf seperti ayahku? Mungkin uang tabungannya selama ini?!
Akh…. Aku tak ingin menerka dalam kebingungan sedangkan barang itu kini telah
ditanganku.
Aku intip isi
dari amplop cokelat itu. Aku keluarkan isinya tanpa ingin merusak tampilannya.
Hufh… ternyata hanya berkas-berkas yang sepertinya tak penting. Tapi tunggu!
Apa ini?? Ini kan…….
“PROGRAM
BEASISWA IKATAN DINAS S1 FAKULTAS KEDOKTERAN”
“Subhanallah…………..”
kata itu terucap dari bibirku bersamaan dengan cucuran air mata yang semakin
tak terbendung. Dari mana ayah mendapatkan ini? Informasi lengkap dengan
berbagai persyaratan beserta formulir pendaftaran untuk mengikuti test program
beasiswa kedokteran tersebut. Sungguh kesempatan langka. Ayahku benar-benar
menginginkanku menjadi dokter.
“Aku akan menjadi
Dokter ayah……. Dokter untukmu…..”. Demikianlah tekadku.
****
Thypus abdominalis. Penyakit infeksi
bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi. Penyakit ini
biasanya dikenal dengan penyakit Tipes. Ayahku terbaring lemah dipembaringan.
Teriris aku melihatnya. Namun bukan ayahku jika ia mengeluh dan pasrah. Dalam
lemah ia masih tetap berusaha menyinari yang lain. Walau redup matanya
kutangkap sendu. Namun bibirnya tak lepas dari senyuman syahdu. Tapi aku tau
dalam tubuhnya sekarang ia sedang berperang, melawan rasa sakit yang tak
karuan.
Cuaca tak
kunjung pulih. Butiran-butiran bening yang sedari tadi tercurah dari atap
langit masih terus bertumpah ruah menciptakan
basah pada kaki bumi. Mengangkat suhu panas dan kini menggantikannya dengan
hawa dingin yang menusuk kulit hingga mendirikan rambut-rambut halus pada
pori-pori.
Hujan. Mambawa
ingatanku pada masa itu. Pada masa kecilku yang agak aneh. Namun ayah tak
pernah menganggap itu aneh. Malah ia bilang aku unik. Dan mulailah ia menghiburku.
Dulu, saat aku masih begitu kecil, aku sangat membenci hujan. Aku benci suara
jatuhnya ia berebutan menyentuh bumi. Aku benci pengaruhnya yang membawa suhu
dingin menggigit kulit dan gusi. Aku benci kilatan-kilatan yang menyambar kian
kemari dari atas langit. Aku benci genderang gemuruhnya yang menambah suram
suasana. Aku bahkan tidak suka walau ia datang pada saat siang yang terang.
Menurutku itu malah mengacaukan suasana. Merebut hak matahari tuk menghangatkan bumi.
Namun ayah lalu
mendekapku dan meletakkan aku pada pangkuannya. Dengan kasih sayang ia
menularkan suhu hangat pada tubuhku. Sembari menikmati aliran kapuas di
pemandangan depan, kemudian iapun mulai bercerita untukku.
“Rahma sayang…
kenapa harus takut dengan hujan? Hujan itu adalah anugrah dari Allah.”
Aku tetap
merengut. Tapi aku suka hangat pelukannya.
“Rahma tau
nggak? Bersamaan dengan setiap titik air hujan itu, turun juga satu malaikat baik pembawa rezeky. Bayangkan saja berapa
ribu titik hujan yang jatuh kebumi, sebanyak itu pula malaikat yang ikut turun
menyertainya.”
Aku
mendongkakkan kepalaku. Kulirik ayahku yang sedang memandang hujan diluar
dengan senyuman khasnya. Aku hanya ingin memastikan bahwa ia tak sedang
mengada-ngada kepadaku.
“Malaikat baik?”
tanyaku
“Iya… malaikat
baik yang membantu menyuburkan pepohonan ditaman-taman, memberikan kesegaran
pada setiap makhluk dimuka bumi, dan membantu menyampaikan permohonan kita
kepada Allah untuk segera dikabulkan.”
Aku masih
terdiam. Bingung sebenarnya. Namun kunikmati cerita itu ditengah hangatnya
harum tubuh ayahku.
“Coba kalau
nggak ada hujan, ibu dan rahma nyuci baju pakai apa? Trus kita mandinya gimana?
Lalu minumnya dengan air yang mana? Air kan sumbernya dari hujan…. Termasuk air
sungai Kapuas tempat rahma dan kawan-kawan berenang disitu.” Jelas ayahku.
“o iya, rahma
pernah nggak liat bias indah saat hujan reda pada siang hari?”
“Pelangi ya
yah?” tanyaku. Sungguh aku kagum pada tujuh warna misterius itu. Indah… Sangat
indah! Hanya itu satu-satunya yang aku kagumi dari hujan.
“Tu…. Rahma
tau…. Allah dan malaikatnya baik ya?! Setelah membagikan banyak rezeky kemuka
bumi, mengabulkan doa-doa kita, lalu ia hadiahkan kepada kita Pelangi yang
cantik.”
Ayahku bercerita
dengan mata yang berkaca-kaca. Lengkung senyumannya indah bersemi. Seperti
lengkung pelangi. Ya… ternyata pelangi itu indah. Namun tak kalah indah senyuman ayahku. Aku jatuh cinta. Pada pelangi
dan senyuman ayah. Tapi dari mana ayahku tau cerita ini? Membaca? Akh… Dia kan
tak mengenal huruf. Dapat dongeng dari manakah ia? Ya sudahlah… tak ingin aku
tanyakan hal tak penting ini pada ayahku. Dan beberapa tahun setelah itu,
akupun sadar bahwa guru kehidupan telah mengajarkan banyak hal pada dirinya.
Sejak saat itu
aku tak lagi membenci hujan. Ternyata hujan itu asyik! Sering sepulang sekolah
aku dan teman-teman bermain bersamanya dengan sejuta keceriaan. Melepas sepatu-sepatu
butut kami dan berlari kian kemari saling mencipratkan air-air yang tergenang
pada kawan yang lain. Kami riang bukan main.
Saat ini ingin
rasaku bertemu dengan malaikat-malaikat baik itu, meminta kepada mereka untuk
membawakan doa-doaku pada Allah untuk segera disampaikan dan dikabulkan. Kini
ragaku telah berpindah kesebuah Masjid disamping rumah sakit besar ini. Setelah
membersihkan diri dengan berwudhu, kuhadapkan diriku pada Dzat yang Maha segalanya.
Yang lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yang maha
mendengarkan segala keluh kesah hambanya, yang memberikan segala yang bahkan
tak kau pinta.
“Ya Allah….
Berikanlah kesembuhan pada Ayahku… jangan kau hapus pelangi indah pada
senyumnya itu. Ampuni dosa-dosanya ya Allah… peluklah mimpi dan harapannya. Ku
tak ingin angin kesedihan menerpa hari-harinya. Izinkan aku untuk dapat
membahagiakan dan membanggakan dirinya. Malaikat yang baik… tolong bantu aku
untuk menyampaikan do’aku ini pada Allah yang Maha Pemurah. Tolong bujuk Ia
untuk diriku demi ayahku. Komohon dengarkan permintaan ini ya Allah...
berikanlah yang terbaik… Amiiin….”
Ku usapkan
wajahku atas tengadahku. Aku menarik nafas panjang. Kusapu air mata ini dan tak
ingin meledak lagi. Kukeluarkan berkas informasi Beasiswa kedokteran yang
ayahku bawa dengan protective. Ku baca persyaratannya satu persatu. Kubaca
kembali dengan teliti. Ku pandangi formulir pendaftaran ditangan kananku.
Terbayang olehku wajah teduh ayah. Saat ia menceritakan tentang hujan, Saat
pulang dengan tersenyum sambil mendorong gerobak, Saat menawar biaya pendaftaran SMA ku, saat ia bercerita
kesana-kemari tentang harapannya untukku, saat senyum pelangi dari bibirnya
merekah indah, dan saat ia melangkah gontai diantara hujan malam ini.
Dengan
mengucapkan Bismillahirahmanirahim, aku mantabkan niat tuk mengikuti test
seleksi program beasiswa ikatan dinas S1 kedokteran yang telah ayahku
idam-idamkan untukku. Aku tuliskan seluruh identitasku sesuai permintaan yang
dicantumkan. Malam itu juga. Dan detik itu juga…
*****
Beberapa
Tahun Kemudian…
“Kategori
Lulusan terbaik. Nama Rahmawati. Tempat tanggal Lahir, Pontianak 4 April 1989.
Putri dari bapak Sutoyo dan ibu Ramlah. Dengan IPK 3,86.”
Gemuruh
tepuk tangan pecah memenuhi ruangan. Tersentak aku dari lamunanku. Satu
senyuman yang langsung aku ingat, Lengkung pelangi manis milik ayahku. Aku
berdiri lalu menoleh kebelakang. Pria kurus mungil itu berdiri sendiri diantara
hadirin yang lain. Tepukan tangan miliknya tampak bersemangat menggoncangkan
tubuh kurusnya. Ia begitu tampan dan gagah sekali dengan jas yang ia kenakan
walau tampak kebesaran melekat dibadannya. Rambutnya disisir rapi dibelah
tengah. Klimis! Dan senyumannya lah yang
paling bersinar. Lengkung pelangi terindah milik ayahku. Penyemangat langkahku.
Tak perduli dua gigi atas yang ia miliki telah gugur pada masanya. Namun itu
tak pernah menjadi masalah bagi dirinya. Ia takkan pernah lelah untuk tersenyum
sepanjang hidupnya. Persembahan terbaik dari dirinya.
Mantab
kulangkahkan kaki dengan pasti. Bergeser sudah tali togaku dari kiri kekanan.
Dan ini lah aku sekarang, Dr. Rahmawati, S.Ked. Aku persembahkan untuknya yang
luar biasa. Ayahku yang ku tercinta.
>>Kurnia Jumiati<<
***
Kisah terinspirasi dari kehidupan nyata. Semoga menjadi do'a. Amien.....
0 komentar:
Posting Komentar