Siapa yang dapat
menyangka? Seorang biasa, yang hidup dan dilahirkan di pelosok hulu tanah
Kalimantan Barat seperti Aku ini bisa mendapatkan kesempatan untuk berangkat
menginjakkan kaki di tanah Indonesia bagian timur. Ambon Manise, tanah subur
nan indah permai. Sesungguhnya Aku masih merasa bermimpi. Mimpi yang singkat
dengan begitu banyak cerita.
Sabtu, 19 November 2011.
Masih lekat dibayangku akan tingkah-tingkah itu.
“Kak… kak… kedengaran
ndak ye deg-degan amek? Maklum baru kali ni mao’ naek pesawat! Hehehe…..” Rewel
alias Iin, salah satu peserta kontingen Pontianak yang berangkat mengungkapkan
rasanya.
“Sabar Wel…. Sabar…. belom
bah naek…. pucat sih nampaknya…. Hehehe….” Jawabku sembari tertawa geli. Rewel pun
menimpali dengan tawanya yang tak kalah geli. Aku tau rasanya itu. Sama seperti
rasaku sewaktu baru petama kali naik pesawat dulu.
Begitu pula yang lainnya.
Perjalanan pertama itu menyisakan cerita yang lucu bila diingat. Ada pak dhe Nurkholis
yang tak henti-hentinya ber’dadah’ ria sewaktu menaiki tangga pesawat (hehehe…
seperti jamaah haji saja), ada si Unyil Bowi yang tak hentinya membaca
surah-surah di dalam al-Qur’an (informasi dari salah satu kontingen yang lain),
ada Lusi yang seingatku menyimpan kantong yang digunakan buat muntah (untuk
kenang-kenangan), ada si Susi yang biasanya ribut tapi malah menutup telinga,
namun yang paling terjaga ialah saudari kita si Ayu karena ia duduk di antara
kedua Pembina Damping dan harus mendengarkan cerita keduanya (naseb kau lah
yu…yu…).
Perjalanan kami transit
dua kali. Dari Pontianak ke Jakarta, lalu Jakarta ke Ambon. Menginap semalam di bandara Soekarno Hatta,
lalu keesokan harinya kami telah resmi menginjak tanah Ambon Manise yang
permai. Waktu disini lebih cepat dua jam dibandingkan di Pontianak. Sungguh
kota yang cantik menurut kasat mataku. Bandara yang minimalis namun tetap indah
yang terletak dipinggir laut. Kami di jemput oleh panitia mengunakan mobil
dalmas. Kak Ali yang menjadi pemandu kami pada waktu itu. Mobil membelah kota menuju
IAIN Ambon dan lokasi perkemahan. Sungguh tak cukup perbendaharaan kosa kataku
untuk mengungkapkan kekaguman pada kota kecil yang indah ini. Alam yang masih
terjaga dengan baik. Susunan rumah yang bertingkat keatas bukit. Pusat kota
terletak dibawah bukit yang disambut dengan laut yang begitu indah.
Subhanallah… ada palung laut ditengah-tengah kota ini. Laut yang sungguh masih
sangat terpelihara, air yang jernih dan pasir yang putih.
“Selamat Datang Peserta
Perkemahan Wirakarya PTAIN Se-Indonesia di Bumi Perkemahan Al-Mulk IAIN AMBON”
Sebuah baleho yang sangat
besar menyambut kedatangan kami. Sesampainya dikampus hijau tersebut kami
dipersilahkan beristirahat sebentar sembari menikmati konsumsi yang telah
disiapkan. Salah satu teman kami; mamat, mabuk perjalanan. Teman-teman yang
lain mencoba mencarikan tempat yang nyaman untuk beristirahat. KDR Putra dan
Putri sedang sibuk meregistrasi ulang kehadiran kontingen kami.
Setelah selesai semuanya,
kami kembali diantar ke bumi perkemahan yang terletak dibelakang kampus. Inilah
yang kami tunggu-tunggu, melihat lokasi perkemahan yang akan dijadikan tempat
bermukim sementara selama sepuluh hari kami disini. Kami diantarkan kelapangan
utama. Menurunkan barang dan siap menuju BUPER.
Oh kawan…. Bagaimana
harus kujelaskan medan kami disana? Sore itu saat kami sampai dilapangan utama,
cuaca tiba-tiba saja hujan! Padahal sebelumnya sangat cerah sekali. Lahan yang
baru dibuka itu becek tanah kuning! Jarak dari lapangan utama ke BUPER kurang
lebih 1 KM! jalan yang harus kami lewati
penuh dengan tantangan. Jika jalan itu menanjak, maka tanjakan itu sangat
tingggi dan licin. Jika jalan itu menurun, maka turunan itu begitu curam dan
membutuhkan rem yang cakram! Kerena jika tidak, kita bisa terpeleset bahkan
berguling-guling!
Ini adalah tantangan
pertama kami sebagai peserta. Mengangkut
perlengkapan yang kami bawa melewati medan tersebut! Dan ingin ku kabarkan,
bahwa perlenkapan kami tidaklah sedikit!
“Jangan jadi Pramuka
kalau mengeluh terus…” seru pimpinan kontingen kami sewaktu ia bertandang
ketenda kami dikemudian hari.
Aku dan yang lainnya
mengendong tas masing-masing. Tangan kiri dan kanan kamipun telah dimaksimalkan
dengan barang-barang kelompok. Aku dan kak Rasti sepakat memikul barang-barang
menggunakan bambu. Aku melepas alas kakiku. Mungkin nyeker lebih mudah,
pikirku. Dengan mengucapkan basmallah, kami menempuh medan itu dengan seru.
Masih saja ada canda diantara kami walaupun keadaan kurang mendukung.
Sekali-kali ada saja yang menyapa kami ditengah perjalanan.
“SEMANGKA!!! Semangat
Kaka…..!!!”
“Kontingen dari mana? Oo…
Pontianak ya? Semangat…..!!”
Hm….. angin persahabatan
itu telah tercium. Kami tak sabar untuk bertemu yang lain. Medan begitu licin.
Kami tak ingin menyerah. Sekali-kali kami berhenti ditengah jalan untuk
beristirahat sebentar.
“Pucuk…Pucuk…..” itulah
Yel-yel kami jika jalan menanjak. Seperti seruan iklan yang gambarnya seekor
ulat berjuang mencapai pucuk daun teh.
Hari mulai gelap. Cuaca
yang mendung semakin mendukung menjadi gulita. Kami akhirnya sampai di Bumi
Perkemahan. Namun, subhanallah…. Pemandangan yang tersajikan didepan mata
begitu menakjubkan. Bumi perkemahan ini terletak diatas bukit. Jadi,
pemandangan didepan kami ialah pemandangan gemerlap lampu-lampu kota! Indah….
“Wah….. banyak Bintang….!!”
Seruku. Ini hadiah yang indah setelah perjuangan mencapai puncak.
Malam ini kami lewatkan
dengan istirahat setelah mendirikan tenda. Namun disepertiga malam kami
dikejutkan dengan keadaan kak eni yang sakit. Hingga keesokan harinya, kak eni
dilarikan kerumah sakit.
*****
Pagi pertama kami di bumi
Ambon Manise. Entahlah, apakah ini hanya perasaanku saja. Matahari terbit lebih
cepat, letaknya serasa begitu dekat dengan kepala, dan bentuknya begitu besar
menurutku. Suhu Ambon Manise begitu panas. Bahkan lebih panas dari bumi
Khatulistiwa. Setelah kak eni dilarikan kerumah sakit, aku dan yang lain
mengikuti Upacara pembukaan. Upacara pembukaan berjalan dengan cukup lancar.
Hanya saja ada beberapa barisan yang kocar-kacir karena kepanasan. Pembukaan
ini ditandai dengan pemukulan Tifa Marinyo, dilanjutkan dengan pengibaran
bendera PW PTAIN, serta penampilan Tari Sawat yang dikolaborasikan dengan alat
music, yaitu Tifa, Rebana dan Seruling terlaksana dengan cukup meriah.
Kegiatan siang,
Sosialisasi Undang-undang No.12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Kegiatan
ini bertempat di GOR IAIN. Disiang yang begitu terik kami harus berjalan kaki
menuju tempat tersebut. Aku deg-degan hendak melihat langsung wajah kak Azrul
Azwar sang ketua Kwarnas itu menjadi pemateri pada hari ini. Namun pada saat
sosialisasi berlangsung, banyak para peserta yang seperti cece si kucing
sanggar, duduk sambil mengantuk! UU Gerakan Pramuka merupakan badan hukum yang
melindungi jalannya mekanisme Gerakan Pramuka. Kak Azrul Azwar mengatakan bahwa
Gerakan Pramuka bukanlah Oranisasi kepemudaan. Hal ini dikarenakan tidak ada
batasan umur bagi seseorang yang ingin bergabung dengan organisasi ini. Hanya
saja dibedakan dengan tingkatan umur yang berbeda.
Keesokan harinya. Pagi-pagi
sekali kami sudah dibangunkan oleh kontingen lain untuk melakukan senam pagi
bersama. Kulihat mereka tampak kompak dan rapi. Segala aribut yang mereka
kenakan sama semua. Mulai dari baju, celana, slayer, topi, bahkan sampai sepatu
dan kaos kakipun seragam! Luarbiasa!
Hari ini Aku sebagai umpi
1 bersama kak darwis dan kak nurkholis sebagai umpi 2 mengikuti kegiatan wisata
paket 2. Yaitu ke Museum Siwalima, Pintu kota dan pantai Namalatu. Barangkat
menggunakan bis menuju tempat-tempat yang telah ditentukan. Aku mendapatkan banyak
teman baru dari seluruh penjuru nusantara. Sampai di Museum Siwalima, kami
disambut dengan hangat oleh pada petugas. Seorang bapak memperkenalkan profil
singkat dari meseum ini. Meseum ini didirikan pada tanggal 8 November 1973.
Siwalima terdiri dari dua kata, yakni Siwa yang berarti Sembilan dan Lima yang
berarti Lima. Kata ini dimabil dari falsafah hidup orang Maluku yag memiliki
arti ‘milik kita semua’.
Berbagai barang
peningalan sejarah ada didalam sana. Salah satu yang pling menarik bagiku ialah
sosok buaya sepanjang 3,5 meter yang terpajang ditengah-tengah museum. Buaya
ini alah buaya asli yang diformalinkan. Biaya ini pernah menyerang warga dengan
catatan sejarah 10 orang meninggal dan 5 orang cacat seumur hidup. Konon
katanya, buaya ini hanya menyerang orang-orang yang memiliki kesalahan. Buaya
ini ditangkap oleh pasukan militer pada tahun 1987 dengan menggunaka senjata
api.
Perjalanan selanjutnya ke
Pintu Kota. Apa yang kau bayangkan kawan ketika mendengar nama tempat itu? Yang
aku bayangkan ialah bangunan gerbang kota yang munkin agak unik sehingga
dijadikan menjadi salah satu tempat wisata. Namun ternyata aku salah. Pintu
kota ialah nama suatu tebing yeng letaknya ditepi pantai. Keunikan dari tebing
tersebut ialah terdapat pintu besar yang menyerupai goa tang dapat tembus
kelaut luas. Sungguh pemandangan yang luar biasa.
Kemudian pantai Namalatu.
Pantai ini juga sangat cantik. Airnya jernih dengan pasir yang putih. Kata Namalatu sendiri berasal dari kata Nama dan
Latu yang berarti Nama dan Raja. Coba saja kau bayangkan pantai pasir panjang milik
tanah kita. Hampir mirip. Namun pantai ini tak sepanjang pasir panjang.
Perjalannan ini kami lewati dari pagi sampai sore. Malamnya kami kembali
evaluasi. Hm… ada satu kabar gembira malam ini. Kak mamat terpilih menjadi
ketua RT di Kerajaannya. Waah… Selamat ya…. Hehehe…
Kegiatan hari berikutnya,
aku mengikuti kegiatan pembersihan sarana ibadah. Masjid IAIN adalah bagian
lokasiku. Aku turut mengecat pagar masjd tersebut sekalian sharing dengan kawan-kawan dari racana lain. Lumayan dapat masukan.
Tapi saking serunya, tak sengaja kerudung cokelat andalanku terciprat cat! Yah…
kenang-kenanganlah…
Masih di hari yang sama,
kegiatan penyuluhan Narkoba dilaksanakan dengan baik. Kegiatan ini dilaksanakan
di AULA IAIN Ambon dengan pemateri dari Kepala
Badan Narkotika Prov. Maluku, yaitu ibu Drs.
B.J.E. Patiasna, MS, MM, Apt. kegiatan ini berisi pengenalan umum narkoba, jenis-jenis narkoba dan bahaya narkoba.
Pada kegiatan hari
berikutnya aku mulai nakal. Kegiatan yang seharusnya aku ikuti ialah kegiatan
pembersihan pantai. Namun dikarenakan ada seorang teman yang mabuk dan meminta minyak kayu putih
padaku, aku lalu keluar barisan dan mengikuti rombongan itu untuk kegiatan penanaman
mangrove di pantai Martha Alfons. Kegiatan ini berlangsung dengan seru. Kami
harus menanam kurang lebih 200 mangrove di pantai tersebut dengan baik dan
dalam. Kerena jikatidak dalam, maka mangrove tersebut akan terbawa air jika
laut pasang. Ternyata mangrove memiliki banyak jenis. Aga yang akar tunjang,
akar nafas dan lain sebagainya. Selesai menanam pohon ini, para peserta ramai
mencari bintang laut dipantai. Temanku dari jawa timur mendapatkan banyak
sekali bintang laut. Sedangkan aku, kosong! Hanya kepiting berlumut yang
berhasil aku bawa. Kegiatan penanaman mangrove ini seharusnya dilaksanakan
sampai sore hari. Namun kerena air pasang, maka kami dibawa pulang pada siang
hari.
Berganti ke hari yang
selanjutnya. Lagi-lagi disini aku nakal kembali. Aku sebagai umpi 1 yang
seharusnya mengikuti pelatihan fotografer, menyelusup pada kegiatan lain yakni
kegiatan pelatihan jurnalistik. Namun sayang beribu sayang. Kegiatan tersebut
dibatalkan dan digantikan oleh panitia manjagi kegiatan penyuluhan Komnas
Perempuan. Pengen nangis raanya waktu itu. Mengejar kegiatan yang lain tapi
malah tak dikabulkan oleh Allah. Tapi ya sudahlah. Toh ada gantinya.
Penyuluhan Komnas
Perempuan, dilaksanakan di gedung Ushuluddin dengan tema “Kekerasan Seksual
Kenali dan Tangani”. Komnas permpuan meliliki tujuan untuk menciptakan situasi
yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan
hak-hak asasi perempuan. Pemateri dari penyuluhan tersebut, ketua komnas
perempuan mengatakan bahwa mereka sedang melakukan kampanye 16 Hari Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP), dan dari 14 bentuk kekerasan seksual
yang dikenali Komnas Perempuan, perkosaan menjadi fokus utama kampanye tahun
ini. Mengikuti kegiatan ini membuatku harus bergidik sebagai seorang perempuan.
Oleh karena itu, sebagai seorang perempuan hendaknya dapat menjaga diri dan
menghindar jika terdapat kekerasan terhadap perempuan dilingkungan sekitarnya ,
serta dapat melaporkan hal tersebut kepada yang berwajib.
Beberapa rangkaian kegiatan
penyuluhan. Seminar dan bhakti telah kami ikuti dengan semangat. Kini sampai
pada dua kegiatan yang sesungguhnya telah kami persiapkan jauh hari dari
sebelum keberangkatan, karnaval Nusantara dan pementasan malam Bhineka Tunggal
Ika. Kita mulai dari karnaval nusantara dulu ya… ada bowi dan susi sebagai kepala
rombongan dengan mengenakan seragam pramuka. Disusul oleh pasangan ayu dan
farid dengan baju adat dayak. Kemudian pasangan melayu yakni kak rasti dan kak
redy. Selanjutnya ada cece mak yank dan cece eva dengan pakaian cong sam
(pakaian adat tionghoa), lalu ada aku dan kak darwis dengan pakaian adat dayak
(buatan anak sanggar lho..), dan terakhir pasukan biru berjaket kontingen;
lusi, iin rewel, mamat, Erwin, kak nceb dan jumadi sebagai dokumentasi. Tapi
jangan ketinggalan, kak sumarman juga mengikuti rombongan berjalan kaki
mengelilingi kota Ambon dengan seragam jacket kontingen.
Yel-yel bergema
disepanjang jalan Ambon. Berbagai kontingen dengan Yel-yel andalan
masing-masing diserukan dengan semangat dan gembira. Tak perduli panas yang
mengiringi perjaanan mereka. Namun mereka tetap semangat dan unjuk gigi untuk
memperkenalkan daerahnya masing-masing.
Malamnya kegiatan
kami tak kalah seru lagi. Dikegiatan yang satu ini kami semua turut andil tanpa
satupun yang tersisa. Menampilkan sebuah tarian yag memperkenalkan berbagai
suku yang bersama dalam perdamaian di tanah Kalimantan barat ini. Yakni tarian
kolaborasi antara suku Dayak, Melayu dan Tionghoa. Ada Kak darwis, bowi, susi,
ayu, iin dan aku sebagai penari Dayak. Ada Erwin, jumadi, Farid, Nurkholis, mamat
dan kak redy sebagai penari melayu. Lalu ada eva, makyank niyah, lusi dan eni
sebagai penari tionghoa. Dan ada kak rasti dan kak nceb sebagai pembawa acara. Kami
menari dengan senang hati didepan para penonton dari kontingen lain. Sorak
sorai dukungan dari kontingen lain membanjiri malam yang indah itu. Penampilan
kami diakhiri dengan persembahan terakhir yaitu sebuah pantun berdendang atau
yang biasa dikenal dengan sebutan Tundang.
Berbagai kegiatan dan
kejadian-kejadian seru yang terjadi disana telah menjadi pengalaman yang
berharga bagi kami untuk memupuk persaudaraan dan kebarsamaan menjadi lebih
besar. Seperti pesan terakhir Baden Powell sebelum I meninggal, bahwa “Usaha
menyelidiki alam akan menimbulkan kesadaran dalam hatimu, betapa banyaknya
keindahan dan keajaiban yang diciptakan Tuhan di dunia ini supaya kamu dapat
menikmatinya.”
Aku sangat menikmati
seluruh kegiatan dengan suguhan pemandangan alam yang sangat menakjubkan di
tanah Ambon manise ini. Semua akan jadi kenangan yang tak terlupakan. Selamat
tinggal Ambon Manise… Terimakasih….^_^’